Jumat, 22 Juni 2007

TAHBISAN WANITA

Bulan Agustus yang lalu, di Washington Post Magazine dimuat artikel tentang protes demi ditingkatkannya peran wanita dalam Gereja dan demi ditahbiskannya para imam wanita. Mohon penjelasan mengenai ajaran Gereja yang benar tentang masalah ini.
~ seorang pembaca di McLean

POLITIK ATAU TEOLOGI?

Di dunia kita yang sarat muatan politik, debat mengenai pembatasan tahbisan hanya bagi kaum pria saja seringkali lebih terfokus pada masalah politik daripada masalah teologi. Hal tersebut tampak jelas dalam artikel di Washington Post Magazine. Di samping itu, bagaimana sebagian orang menerima ajaran Gereja juga tampaknya lebih terfokus pada kerangka politik daripada teologi. Mengenai lingkup politik, patutlah kita ingat bahwa karena dasar teologis kita, Gereja mengutuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, “Setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah” (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, No 29).

Namun demikian, guna memahami posisi Gereja dalam mempertahankan Sakramen Tahbisan, dan karenanya tahbisan diakon, imam dan uskup, terbatas hanya bagi kaum pria saja (bdk Kitab Hukum Kanonik, No 1024), baiklah kita kembali pada dasar teologi kita. Kita ingat bahwa menurut definisinya, sakramen adalah suatu tanda kelihatan yang ditetapkan oleh Kristus guna mendatangkan rahmat. Pertama-tama, Kristus menetapkan Sakramen Tahbisan. Sesuai rencana-Nya, Ia menetapkan duabelas orang sebagai rasul-rasul-Nya. Di bagian manapun Injil, tak kita dapati bukti bahwa Yesus memberikan “amanat” kepada para perempuan untuk mengurapi orang sakit, mengkonsekrasikan Ekaristi Kudus, ataupun mengampuni dosa, seperti yang Ia sampaikan kepada para rasul-Nya.

Sebagian orang mungkin akan menanggapi, “Tetapi, dalam masyarakat Yahudi pada masa itu, perempuan tidak dipandang sederajat dengan laki-laki. Perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua, dan itulah sebabnya mengapa Yesus hanya memilih laki-laki sebagai para rasul-Nya.” Dalam batas tertentu, pernyataan ini benar. Tetapi, Yesus tidak dibatasi oleh adat istiadat semacam itu. Bahkan para musuh-Nya mengatakan, “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka” (Mat 22:16). Sementara hukum Yahudi mengijinkan laki-laki untuk menceraikan isterinya, tetapi tidak sebaliknya, Yesus berbicara mengenai perkawinan sebagai suatu ikatan perjanjian antara laki-laki dan perempuan, dua ciptaan sederajat yang dijadikan seturut gambar dan rupa Allah (Mat 19:3 dst). Ia berbicara dengan perempuan Samaria, yang dikenal sebagai seorang pendosa, yang pasti akan dijauhi oleh para rabi “yang baik” (Yoh 4:4 dst). Ia menerima kehadiran Maria Magdalena dan mengampuni dosa-dosanya walau ia dianggap sebagai “perempuan hina” oleh para pemimpin agama lainnya (Luk 7:36 dst). Banyak perempuan mengikuti Yesus semasa pewartaan-Nya di hadapan publik dan menjadi saksi atas penyaliban dan pemakaman-Nya. Pada hari raya Paskah, para perempuanlah yang pertama-tama mendapati makam kosong dan Maria Magdalena adalah orang pertama yang melihat Kristus yang bangkit. Selain itu, Yesus nyata jelas menghormati BundaNya yang Tersuci, Santa Perawan Maria; atas permintaannyalah Ia melakukan mukjizat-Nya yang pertama dalam pesta perkawinan di Kana, meskipun waktu-Nya belum tiba. Jadi jelas, Yesus tidak memanggil perempuan sebagai rasul-Nya bukan karena alasan sosial atau politik. Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostoliknya Mulieris Dignitatem menyatakan, “Dalam memanggil hanya kaum pria sebagai rasul-rasul-Nya, Kristus bertindak dengan sungguh-sungguh bebas dan penuh kedaulatan. Dalam bertindak demikian Ia melaksanakan kebebasan yang sama yang dengannya Ia, dalam segala tindakan-Nya, menekankan martabat dan panggilan kaum wanita, tanpa kompromi dengan adat istiadat yang berlaku, dan dengan tradisi yang dijaga dengan ketat oleh penguasa masa itu” (No. 26).

Di samping itu, tidak ada indikasi dalam sejarah Gereja bahwa perempuan dipanggil untuk menerima Tahbisan Suci. Sebagai contoh, meskipun para perempuan, termasuk Santa Perawan, ada bersama para rasul di “ruang atas” setelah kenaikan Yesus ke surga (Kis 1:14), St Petrus menunjuk “laki-laki” dalam pemilihan seorang pengganti bagi Yudas, dan kesebelas rasul menetapkan Matias, satu dari dua orang yang diusulkan (Kis 1:15 dst). Jika kita meneliti Didache (pengajaran pertama mengenai doktrin, moralitas, dan spiritualitas Gereja yang ditulis sekitar tahun 80M dan dianggap sebagai pengajaran para rasul) atau meneliti tulisan-tulisan para Bapa Gereja, dua diantaranya adalah St Klemens (wafat thn 101) dan St Ignatius dari Antiokhia (wafat thn 110), kita mendapati bukti yang jelas bahwa hanya kaum pria yang dipilih sebagai uskup, imam dan diakon. Saya ingat suatu kali Uskup Fulton Sheen mengatakan, “Jika Kristus menghendaki perempuan ditahbiskan, pastilah Ia akan menahbiskan BundaNya Sendiri yang Tersuci, yang tanpa noda dosa, tetapi Ia tidak melakukannya.” Sebab itu, Gereja tetap setia pada bentuk pelayanan tertahbis seperti yang dikehendaki Kristus Sendiri serta dipertahankan oleh para rasul. Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Gereja menganggap diri terikat pada pilihan ini, yang telah dilakukan Tuhan Sendiri. Karena itu, tidak mungkin menahbiskan wanita” (No. 1577).

SAKRAMEN, BUKAN `HAK'

Sementara Gereja mendasarkan ajarannya mengenai pembatasan tahbisan hanya bagi kaum pria saja, teristimewa seturut tradisi turun-temurun yang diwariskan sejak jaman para rasul, jawaban atas pertanyaan di atas juga bertitik pangkal pada pemahaman akan sakramen itu sendiri.

Gereja harus setia pada nilai tanda atau substansi sakramen. Paus Pius XII menggemakan ajaran Konsili Trente dengan mengatakan, “Gereja tidak mempunyai kuasa atas substansi sakramen-sakramen, yaitu atas apa yang Kristus Tuhan telah tetapkan agar dipelihara dalam tanda sakramental, seperti dinyatakan dalam sumber-sumber Wahyu” (Sacramentum Ordinis, No. 5). Tanda-tanda sakramental ini adalah tindakan-tindakan dan benda-benda simbolik, seperti air dalam pembaptisan melambangkan hidup dan pembersihan, mengingatkan kita akan air yang mendatangkan hidup dalam Kitab Kejadian, air bah yang membinasakan kejahatan pada masa Nuh, Laut Merah yang terbelah untuk membawa bangsa Israel keluar dari perbudakan, dan air yang memancar dari Hati Kristus Sendiri. Sebagai contoh, Misa Kudus bukan hanya sekedar ritual makan atau suatu kenangan saleh akan Perjamuan Terakhir; Misa Kudus ikut ambil bagian dan menghadirkan kurban kekal abadi Tuhan kita di salib dan kebangkitan-Nya.

Dengan cara yang sama, melalui Tahbisan Suci, seorang imam dipanggil untuk menghadirkan Kristus Sendiri, untuk menjadi “alter Christus”. Sebagai contoh, dalam Misa, imam bertindak “in persona Christi”, “imam merupakan gambaran Kristus, yang seluruh pribadi-Nya dan yang dengan kuasa-Nya, ia mengucapkan kata-kata konsekrasi” (St Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, 83, 1, 3). Dalam arti ini, satu bagian intrinsik dari tanda sakramental Tahbisan Suci adalah kelaki-lakian Kristus.

Menggunakan analogi St Paulus tentang hubungan Kristus dengan Gereja sebagai mempelai pria dengan mempelai wanita-Nya, Paus Yohanes Paulus II (sama seperti Paus Paulus VI) merefleksikan bahwa kurban Kristus di salib dengan menyerahkan tubuh dan darah-Nya “memberikan keunggulan definitif pada arti mempelai dari cinta Allah” (Mulieris Dignitatem, No. 26). Kristus adalah mempelai pria yang telah menyerahkan Diri seutuhnya sebagai Penebus bagi mempelai wanita-Nya, Gereja, yang Ia ciptakan. Ekaristi Kudus meneruskan untuk menghadirkan tindakan penebusan Kristus, dan meneruskan memberi makan Gereja. Oleh sebab itu, Kristus, Mempelai Pria, dipersatukan dengan Mempelai Wanita-Nya, Gereja, melalui Ekaristi Kristus. Bapa Suci menyimpulkan, “Karena Kristus dalam mengadakan Ekaristi menghubungkannya secara eksplisit pada imamat pelayanan para rasul, maka sahlah untuk menyimpulkan bahwa dengan itu Ia ingin mengungkapkan relasi antara pria dan wanita, antara apa yang “bersifat feminin” dan apa yang “bersifat maskulin”. Ini merupakan relasi yang dikehendaki oleh Allah baik dalam misteri penciptaan maupun dalam misteri penebusan. Ekaristi terutama mengungkapkan tindakan penebusan Kristus, Sang Mempelai Pria, terhadap Gereja, Sang Mempelai Wanita. Hal ini jelas dan tidak dapat disangsikan kalau pelayanan Sakramen Ekaristi, di mana imam bertindak “dalam Pribadi Kristus”, dijalankan oleh seorang pria” (No. 26). (Lebih lanjut pembahasan mengenai hal ini silakan lihat Deklarasi “Inter Insignores” (1976), deklarasi yang berhubungan dengan masalah Penerimaan Kaum Wanita untuk Imamat Pelayanan, dan “Mulieris Dignitatem” (No 26) oleh Paus Yohanes Paulus II).

Paus Paulus VI menggemakan pokok-pokok di atas ketika ia menulis kepada Uskup Agung Coggan, Uskup Agung Canterbury dan pemimpin spiritual Gereja Anglikan, mengenai pentahbisan wanita untuk imamat pelayanan (30 Nov 1975), “Gereja Katolik berpegang teguh untuk tidak memperkenankan tahbisan imamat bagi kaum wanita karena alasan-alasan yang sangat mendasar. Alasan-alasan ini meliputi: teladan seperti yang dicatat dalam Kitab Suci bahwa Kristus memilih para rasul-Nya hanya dari kalangan pria; praktek Gereja yang turun-temurun, yang meneladan Kristus Sendiri dalam memilih hanya kaum pria; dan wewenang mengajarnya yang hidup, yang secara konsisten mempertahankan untuk tidak mengikutsertakan wanita dalam jabatan imamat, adalah sesuai dengan rencana Tuhan bagi GerejaNya.”

Katekismus Gereja Katolik juga membahas `hak' seseorang untuk menjadi imam, “Seorang pun tidak mempunyai hak untuk menerima Sakramen Tahbisan. Tidak seorang pun merebut tugas itu bagi dirinya. Untuk itu seorang harus dipanggil oleh Allah. Siapa yang beranggapan melihat tanda-tanda bahwa Allah memanggilnya untuk pelayanan sebagai orang yang ditahbis, harus menyampaikan kerinduannya itu dengan rendah hati kepada otoritas Gereja yang mempunyai tanggung jawab dan hak untuk mengizinkan seorang menerima tahbisan. Seperti setiap rahmat, maka sakramen ini juga hanya dapat diterima sebagai anugerah secara cuma-cuma” (No. 1578).

Meskipun ajaran Gereja konsisten mengenai hal ini, Paus Yohanes Paulus II menganggap perlu untuk mengulanginya lagi dalam surat apostoliknya “Ordinatio Sacerdotalis” (22 Mei 1994), “Guna mengenyahkan segala keraguan mengenai masalah yang penting ini, masalah yang menyangkut penetapan ilahi Gereja sendiri, demi pelayanan saya dalam memperteguh saudara-saudara seiman, saya memaklumkan bahwa Gereja tidak memiliki wewenang apapun untuk menganugerahkan tahbisan imamat kepada wanita dan bahwa keputusan ini hendaknya dipegang teguh secara difinitif oleh segenap umat beriman Gereja” (No 4). Jawaban Bapa Suci sudah jelas dan pasti.

Pembatasan Tahbisan Suci hanya bagi kaum pria saja tidak merendahkan peran wanita dalam Gereja. Coba pikirkan akan wanita-wanita kudus yang besar seperti St Klara, St Theresia dari Avila dan St Katarina dari Siena yang tulisan-tulisan spiritualnya dan juga teladannya masih kita kenang dan hormati hingga sekarang. Coba pikirkan karya luar biasa Moeder Teresa atau Moeder Angelica dan betapa banyak jiwa yang mereka sentuh. Kenangkan pula para wanita kudus dari Gereja kita: St Elizabeth Ann Seton (seorang isteri, ibu, dan rohaniwati), Beata Katharina Drexel, St Fransiska Cabrini, Beata Kateri Tekakwitha. Gereja Katolik kita memiliki daftar panjang para wanita religius yang melayani di sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit dan panti-panti yatim piatu. Masing-masing paroki mendapat banyak manfaat dari pelayanan kaum wanita awam yang menyediakan waktu dan talenta mereka dalam berbagai bidang. Dalam surat apostoliknya, Paus Yohanes Paulus II menekankan, “Kehadiran dan peran serta wanita dalam kehidupan dan perutusan Gereja, walau tidak seperti pelayanan imamat, tetap mutlak diperlukan dan tak tergantikan” (No 3).

Saya teringat bagaimana Bapa Suci menanggapi pertanyaan ini ketika ia mengunjungi Philadelphia pada tahun 1979, saat itu saya masih di seminari. Ia mengingatkan bahwa Kristus memanggil masing-masing kita untuk ikut ambil bagian dalam perutusan-Nya. Sebagian orang dipanggil untuk menjadi imam, sebagian menjadi biarawan dan biarawati, sebagian menjadi suami isteri, sebagian sebagai orangtua, sebagian sebagai awam yang selibat. Suatu panggilan tidak berdasarkan pada superioritas, melainkan pada tingkat peran dan pelayanan yang berbeda-beda. Setiap orang ikut ambil bagian dalam perutusan Kristus sesuai rencana dan rancangan-Nya; rahmat-Nya membantu kita mewujudkan Kerajaan Allah. Seperti dinasehatkan dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dari Konsili Vatikan II, kiranya kita tunduk dengan taat, rendah hati serta hormat pada ajaran-ajaran Gereja kita seperti diilhamkan oleh Roh Kudus.

* Fr. Saunders is president of Notre Dame Institute and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Women's Ordination” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1996 Arlington Catholic Herald, Inc. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Senin, 04 Juni 2007

SAKRAMEN MENURUT GEREJA KATOLIK

Sakramen, sebagaimana difahami oleh Gereja katolik, adalah tanda yang terlihat, yang dapat ditangkap oleh panca indera, yang dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai sarana yang dengannya rahmat ilahi diindikasikan oleh tanda yang diterimakan, yang membantu pribadi penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan, dan berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian.


Ketujuh Sakramen oleh Rogier van der Weyden, sekitar 1448.
Meskipun tidak semua pribadi menerima semua sakramen, sakramen-sakramen secara keseluruhan dipandang sebagai sarana penting bagi keselamatan umat beriman, yang menganugerahkan rahmat tertentu dari tiap sakramen tersebut, misalnya dipersatukan dengan Kristus dan Gereja, pengampunan dosa-dosa, atau pun pengkhususan (konsekrasi) untuk suatu pelayanan tertentu.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa efek dari suatu sakramen itu ada ex opere operato (oleh kenyataan bahwa sakramen itu dilayankan), tanpa memperhitungkan kekudusan pribadi pelayan yang melayankannya; kurang layaknya kondisi penerima untuk menerima rahmat yang dianugerahkan tersebut dapat menghalangi efektivitas sakramen itu bagi yang bersangkutan; sakramen memerlukan adanya iman, meskipun kata-kata dan elemen-elemen ritualnya, menyuburkan, menguatkan dan memberi ekspresi bagi iman (Kompendium Katekismus Gereja Katolik, 224).
Gereja katolik mengajarkan adanya tujuh sakramen, dan diurutkan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) sebagai berikut:
Pembaptisan: KGK 1213–1284
Penguatan, juga disebut Krisma (KGK 1289): KGK 1285–1321
Ekaristi: KGK 1322–1419
Rekonsiliasi(umumnya disebut "Pengakuan Dosa"):KGK 1422–1498
Pengurapan orang sakit: KGK 1499–1532
Imamat: KGK 1536–1600
Pernikahan: KGK 1601–1666
Penjelasan tiap sakramen tersebut berikut ini terutama didasarkan atas Kompendium Katekismus Gereja Katolik.
Daftar isi
1 Sakramen-sakramen Inisiasi
1.1 Pembaptisan
1.2 Penguatan
1.3 Ekaristi
2 Sakramen-sakramen Penyembuhan
2.1 Rekonsiliasi
2.2 Pengurapan Orang Sakit
3 Sakramen-sakramen Panggilan
3.1 Imamat
3.2 Pernikahan
4 Validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen
5 Para Pelayan-Sakramen Biasa dan Luar Biasa
6 Pranala luar
//
[sunting] Sakramen-sakramen Inisiasi
[sunting] Pembaptisan


Baptisterium (bejana/ruang/tempat pembaptisan) dalam Katedral St. Rafael, Dubuque, Iowa. Bejana khusus ini diperluas pada tahun 2005 untuk mencakup sebuah kolam kecil bagi pembaptisan selam orang dewasa, delapan sisi pada bejana melambangkan delapan jiwa yang terselamatkan oleh Bahtera Nuh.
Pembaptisan adalah sakramen pertama dan mendasar dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini dilayankan dengan cara menyelamkan si penerima ke dalam air atau dengan mencurahkan (tidak sekedar memercikkan) air ke atas kepala si penerima "dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus" (Matius 28:19). Pelayan sakramen ini biasanya seorang uskup atau imam, atau (dalam Gereja Latin, namun tidak demikian halnya dalam Gereja Timur) seorang diakon.
Dalam keadaan darurat, siapapun yang berniat untuk melakukan apa yang dilakukan Gereja, bahkan jika orang itu bukanlah seorang Kristiani, dapat membaptis.
Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal serta semua dosa pribadi dan dari hukuman akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat orang yang dibaptis itu mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah melalui "rahmat yang menguduskan" (rahmat pembenaran yang mempersatukan pribadi yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya).
Pembaptisan juga membuat penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan komuni (persekutuan) antar semua orang Kristen.
Pembaptisan menganugerahkan kebajikan-kebajikan "teologis" (iman, harapan dan kasih) dan karunia-karunia Roh Kudus. Sakramen ini menandai penerimanya dengan suatu meterai rohani yang berarti orang tersebut secara permanen telah menjadi milik Kristus.
[sunting] Penguatan
Penguatan atau Krisma adalah sakramen kedua dalam inisiasi Kristiani. Sakramen ini diberikan dengan cara mengurapi penerimanya dengan Krisma, minyak yang telah dicampur sejenis balsam, yang memberinya aroma khas, disertai doa khusus yang menunjukkan bahwa, baik dalam variasi Barat maupun Timurnya, karunia Roh Kudus menandai si penerima seperti sebuah meterai. Melalui sakramen ini, rahmat yang diberikan dalam pembaptisan "diperkuat dan diperdalam" (KGK 1303). Seperti pembaptisan, penguatan hanya diterima satu kali, dan si penerima harus dalam keadaan layak (artinya bebas dari dosa-maut apapun yang diketahui dan yang belum diakui) agar dapat menerima efek sakramen tersebut. Pelayan sakramen ini adalah seorang uskup yang ditahbiskan secara sah; jika seorang imam (presbiter) melayankan sakramen ini — sebagaimana yang biasa dilakukan dalam Gereja-Gereja Timur dan dalam keadaan-keadaan istimewa (seperti pembabtisan orang dewasa atau seorang anak kecil yang sekarat) dalam Gereja Ritus-Latin (KGK 1312–1313) — hubungan dengan jenjang imamat di atasnya ditunjukkan oleh minyak (dikenal dengan nama krisma atau myron) yang telah diberkati oleh uskup dalam perayaan Kamis Putih atau pada hari yang dekat dengan hari itu. Di Timur sakramen ini dilayankan segera sesudah pembaptisan. Di Barat, di mana administrasi biasanya dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya, sakramen ini ditunda sampai si penerima mencapai usia awal kedewasaan; biasanya setelah yang bersangkutan diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi, sakramen ketiga dari inisiasi Kristiani. Kian lama kian dipulihkan urut-urutan tradisional sakramen-sakramen inisiasi ini, yakni diawali dengan pembaptisan, kemudian penguatan, barulah Ekaristi.
[sunting] Ekaristi
Ekaristi adalah sakramen (yang ketiga dalam inisiasi Kristiani) yang dengannya umat Katolik mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus serta turut serta dalam pengorbanan diri-Nya. Aspek pertama dari sakramen ini (yakni mengambil bagian dari Tubuh dan Darah Yesus Kristus) disebut pula Komuni Suci. Roti (yang harus terbuat dari gandum, dan yang tidak diberi ragi dalam ritus Latin, Armenia dan Ethiopia, namun diberi ragi dalam kebanyakan Ritus Timur) dan anggur (yang harus terbuat dari buah anggur) yang digunakan dalam ritus Ekaristi, dalam iman Katolik, ditransformasi dalam segala hal kecuali wujudnya yang kelihatan menjadi Tubuh dan Darah Kristus, perubahan ini disebut transubstansiasi. Hanya uskup atau imam yang dapat menjadi pelayan Sakramen Ekaristi, dengan bertindak selaku pribadi Kristus sendiri. Diakon serta imam biasanya adalah pelayan Komuni Suci, umat awam dapat diberi wewenang dalam lingkup terbatas sebagai pelayan luar biasa Komuni Suci. Ekaristi dipandang sebagai "sumber dan puncak" kehidupan Kristiani, tindakan pengudusan yang paling istimewa oleh Allah terhadap umat beriman dan tindakan penyembahan yang paling istimewa oleh umat beriman terhadap Allah, serta sebagai suatu titik dimana umat beriman terhubung dengan liturgi di surga. Betapa pentingnya sakramen ini sehingga partisipasi dalam perayaan Ekaristi (Misa) dipandang sebagai kewajiban pada setiap hari Minggu dan hari raya khusus, serta dianjurkan untuk hari-hari lainnya. Dianjurkan pula bagi umat yang berpartisipasi dalam Misa untuk, dalam kondisi rohani yang layak, menerima Komuni Suci. Menerima Komuni Suci dipandang sebagai kewajiban sekurang-kurangnya setahun sekali selama masa Paskah.
[sunting] Sakramen-sakramen Penyembuhan
[sunting] Rekonsiliasi
Sakramen rekonsiliasi adalah yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan Sakramen Pengampunan(KGK 1423–1424). Sakramen ini adalah sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh imam, dan penyilihan.
"Banyak dosa yang merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang mungkin dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya, mengembalikan barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang telah difitnah, memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan yang sederhana pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan melemahkan si pendosa sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan silih bagi' atau 'memperbaiki kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459). Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.
Imam yang bersangkutan terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak. "Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan) yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388).
[sunting] Pengurapan Orang Sakit
Pengurapan Orang Sakit adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini seorang imam mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini. "Pengurapan orang sakit dapat dilayankan bagi setiap umat beriman yang, karena telah mencapai penggunaan akal budi, mulai berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia lanjut" (kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi Gereja Barat, sakramen ini diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang dilayankan sebagai salah satu dari "Ritus-Ritus Terakhir". "Ritus-Ritus Terakhir" yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut secara fisik tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka minimal diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya penyesalan si sakit atas dosa-dosanya), dan Ekaristi, yang bilamana dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan "Viaticum", sebuah kata yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah "bekal perjalanan".
[sunting] Sakramen-sakramen Panggilan
[sunting] Imamat
Imamat atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskup yang boleh melayankan sakramen ini.
Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja.
Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi.
Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada Kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah.
Orang-orang yang berkeinginan menajdi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk pentahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.
[sunting] Pernikahan
Pernikahan atau Perkawinan, seperti Imamat, adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja, serta menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut. Sakramen ini, yang dipandang sebagai suatu tanda cinta-kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen dan eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan.
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang bersangkutan rahmat yang mereka perlukan untuk mencapai kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang melayankan sakramen ini adalah kedua pasangan yang bersangkutan.
Demi kesahan suatu pernikahan, seorang pria dan seorang wanita harus mengutarakan niat dan persetujuan-bebas (persetujuan tanpa paksaan) masing-masing untuk saling memberi diri seutuhnya, tanpa memperkecualikan apapun dari hak-milik esensial dan maksud-maksud perkawinan. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang Kristen non-Katolik, maka pernikahan mereka hanya dinyatakan sah jika telah memperoleh izin dari pihak berwenang terkait dalam Gereja Katolik. Jika salah satu dari keduanya adalah seorang non-Kristen (dalam arti belum dibaptis), maka diperlukan izin dari pihak berwenang terkait demi sahnya pernikahan.
[sunting] Validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen
Sebagaimana dijelaskan di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato (oleh kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena Kristus sendiri yang bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si pelayan.
Meskipun demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika orang yang bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu, misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramen-sakramen juga invalid jika "materi" atau "formula"nya kurang sesuai dari pada yang seharusnya. Materi adalah benda material yang dapat dipersepsi, seperti air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung gandum dan anggur dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi, seperti (dalam Gereja Barat), "N., Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif mengeluarkan beberapa aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, maka sakramen tersebut invalid. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Sebuah sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang diharuskan oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus.
Hukum kanonik merinci halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen imamat dan pernikahan. Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat menjadikan seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu janji pernikahan" (kanon 1073).
Dalam Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan bilamana hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci yang berwenang untuk menetapkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis halangan-halangan pernikahan (kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya menyangkut hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan tersebut.
Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.
Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari karakter atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …"
[sunting] Para Pelayan-Sakramen Biasa dan Luar Biasa
Para Pelayan Sakramen dalam Gereja Katolik
Sakramen
Pelayan Biasa
Pelayan Luar Biasa
Pembaptisan
uskup, imam atau diakon; tetapi biasanya dikhususkan bagi imam paroki setempat
umat awam yang didelegasikan oleh uskup, atau siapapun dalam keadaan darurat
Penguatan
uskup atau (dalam Gereja Katolik Ritus Timur) imam
(dalam Gereja Barat) imam yang diberikan wewenang oleh hukum Gereja atau izin khusus
Ekaristi
uskup atau imam
tidak ada
Ekaristi (pembagian) – Komuni Suci
uskup, imam, atau diakon
akolit yang diberi wewenang (jika klerus tidak mencukupi)umat awam (jika klerus atau akolit tidak mencukupi)
Ekaristi (pengunjukan)
uskup, imam, atau diakon
pelayan luar biasa Komuni Suci atau orang lain yang ditunjuk oleh pejabat gereja lokal
Rekonsiliasi
uskup atau imam
tidak ada
Pengurapan Orang Sakit
uskup atau imam
tidak ada
Imamat
Uskup (untuk alasan keabsahan, sekurang-kurangnya harus ada tiga orang uskup dalam suatu pentahbisan uskup)
tidak ada
Pernikahan
suami dan isteri (tradisi Barat); imam yang bertugas (tradisi Timur)
tidak ada